SEKILASRIAU.COM – Koteka berasal dari daerah mana? warga Negara Indonesia wajib tau apa itu Koteka dan asalnya.
Baru-baru Koteka tengah menjadi perbincangan di media sosial.
Hal itu diketahui dari banyaknya penulusuran pencarian terhadap artikel tentang Koteka dalam minggu ini, (18/3).
Nah, penasaran apa itu Koteka dan berasal dari daerah mana?
Koteka atau Holim diketahui adalah pakaian adat Papua berupa penutup kemaluan pria dengan bentuk selongsong panjang yang mengerucut di bagian depan.
Koteka terbuat dari kulit buah labu air tua yang dibuang biji dan daging buahnya dan kemudian dikeringkan.
Biasanya digunakan para laki-laki dengan cara diikat melingkar pada pinggang untuk melindungi bagian kemaluan. Koteka ini juga menjadi bagian dari identitas yang menandakan status sosial. Masyarakat Papua telah memakai koteka sejak ratusan tahun lalu.
Sementara itu dalam pantauan media ini yang dilansir dari Wikipedia, Koteka adalah pakaian untuk menutup kemaluan laki-laki dalam budaya sebagian penduduk asli Pulau Papua.
Koteka terbuat dari Moncong burung taong-taong (Riambo) dan kulit labu.
Burung Taong-taong
Mulut burung taong-taong dapat diperoleh dengan cara berburu, burung ini hidup disekitar daerah, lantaran bentuk dari mulut burung ini dapat berfungsi sebagai alat penutup kelamin laki-laki.
lagenaria siceraria (Labu)
Labu (lagenaria siceraria) ini adalah labu yang berwarna putih dan panjang.
Labu ini ditanam dan diproses sehingga berbentuk yang dinamakan koteka yang digunakan oleh kaum laki-laki.
Tak sebagaimana anggapan umum, ukuran dan bentuk koteka tak berkaitan dengan status pemakainya.
Ukuran biasanya berkaitan dengan aktivitas pengguna, hendak bekerja atau upacara.
Banyak suku-suku di sana dapat dikenali dari cara mereka menggunakan koteka.
Koteka yang pendek digunakan saat bekerja, dan yang panjang dengan hiasan-hiasan digunakan dalam upacara adat.
Namun, setiap suku memiliki perbedaan bentuk koteka.
Orang Yali, misalnya, menyukai bentuk labu yang panjang. Sedangkan orang Tiom biasanya memakai dua labu.
Seiring waktu, koteka semakin kurang populer dipakai sehari-hari.
Koteka dilarang dikenakan di kendaraan umum dan sekolah-sekolah.
Kalaupun ada, koteka hanya untuk diperjualbelikan sebagai cenderamata.
Di kawasan pegunungan, seperti Wamena, koteka masih dipakai.
Untuk berfoto dengan pemakainya, wisatawan harus merogoh kantong beberapa puluh ribu rupiah.
Di kawasan pantai, orang lebih sulit lagi menemukannya.
Operasi Koteka
Sejak 1950-an, para misionaris mengampanyekan penggunaan celana pendek sebagai pengganti koteka.
Ini tidak mudah. Suku Dani di Lembah Baliem saat itu kadang-kadang mengenakan celana, tetapi tetap mempertahankan koteka.
Pemerintah RI sejak tahun 1960-an pun berupaya mengurangi pemakaian koteka. Melalui para gubernur, sejak Frans Kaisiepo pada 1964, kampanye anti Koteka digelar.
Pada tahun 1971, dikenal istilah “operasi koteka” dengan membagi-bagikan pakaian kepada penduduk.
Akan tetapi karena tidak ada sabun, pakaian itu akhirnya tak pernah dicuci. Pada akhirnya warga Papua malah terserang penyakit kulit.
Itulah penulusuran dari Koteka yang dapat dirangkum oleh media ini.
Penulis: Do