Kelompok Nelayan Ngokang Bertransformasi Jadi Pengusaha Laundry

Kelompok Nelayan Ngokang Bertransformasi Jadi Pengusaha Laundry
Foto: Seorang kelompok Bertuah Laundry saat mengangkat jemuran pakaian

Di sebuah sudut Kelurahan Tanjung Palas, terdengar deru mesin cuci berpadu dengan tawa hangat para bapak-bapak yang sibuk menata pakaian bersih.

Mereka adalah mantan nelayan Ngokang sebutan bagi para pejuang nafkah tradisional di Kota Dumai yang dahulu menjajakan dagangan di tengah laut menggunakan perahu.

Kini, suara mesin cuci menggantikan gemuruh ombak dan semilir angin laut yang dulu menjadi sahabat mereka setiap hari dalam mencari rezeki bagi keluarga.

Kehidupan telah berbalik arah. Bukan lagi mengemudi perahu atau berteriak menawarkan dagangan buah dan minuman di tengah lautan, melainkan sibuk menimbang cucian, menjemur, hingga menyetrika pakaian.

Tangan-tangan yang dulu akrab dengan kemudi perahu kini lihai memeras cucian. Mulut yang dulu berseru di tengah kencangnya angin laut kini justru bersenda gurau di sela lipatan baju.

Sekilas, pemandangan itu tampak biasa, deretan pakaian tergantung rapi, aroma sabun lembut memenuhi ruangan, dan suara mesin cuci berputar tiada henti.

Namun, di balik tumpukan cucian dan semerbak pewangi itu, tersimpan kisah ketangguhan luar biasa dari para lelaki yang dulu mengadu nasib di tengah lautan.

Kenangan di Tengah Laut

Seorang pria paruh baya dengan senyum ramah menyapa di balik meja kasir. Dialah Risman, salah satu sosok di balik roda usaha laundry tersebut.

Sambil mempersilakan duduk, Risman bercerita singkat tentang perubahan besar dalam hidupnya.

Ia tak pernah menyangka akan menghabiskan hari-harinya mengurus pakaian yaitu pekerjaan yang selama ini identik dengan kaum perempuan.

Pria berusia 40 tahun itu mengenang masa lalunya. Dulu, ia menggantungkan nasib keluarga kecilnya pada sebuah perahu, menjajakan dagangan dari satu kapal ke kapal lain yang berlabuh di tengah laut.

Dengan suara lantang, ia menawarkan barang dagangan kepada para awak kapal tanpa menghiraukan teriknya matahari yang membakar kulit. Perahu beratapkan terpal biru dengan rangka seadanya seolah sudah cukup melindunginya dari panas dan hujan demi membawa pulang kabar gembira bagi istri serta anaknya.

“Sir, sir! Master, do you need water and fruit?” ujarnya menirukan gaya lamanya berbahasa Inggris, sambil tertawa kecil mengenang masa-masa itu, Kamis (10/10/2025).

Perjuangan nelayan Ngokang dalam menjual makanan dan minuman berbeda dari pedagang di pasar pada umumnya. Dalam menjalankan alat transaksi, mereka masih menggunakan sistem barter atau tukar-menukar barang, tradisi yang telah diwariskan turun-temurun sejak masa nenek moyang.

Kata Risman, sistem barter tersebut menjadi strategi unik yang mampu menarik pelanggan untuk bertransaksi lantaran dianggap sebagai limbah.

Barang-barang hasil pertukaran biasanya berupa oli bekas, potongan besi, hingga drum kosong.

“Jarang sekali kami dibayar pakai uang tunai. Barter barang bekas sudah jadi kesepakatan. Barang itulah yang nanti kami jual lagi di darat,” cerita Risman.

Namun, kehidupan nelayan Ngokang yang telah lama menjalankan profesi warisan itu mulai berubah sejak wilayah yang biasa mereka lintasi resmi menjadi kawasan terlarang.

“Sejak aturan Permenhub No. 819 Tahun 2018 keluar, kami nggak bisa lagi sembarangan mendekati kapal. Hasil pun makin nggak tentu,” ujarnya lirih.

Badai kehidupan sempat membuat langkah Risman terhenti, seperti halnya banyak orang yang seprofesi dengannya. Namun, ia tetap berpegang pada pepatah lama, ‘Setiap ombak besar selalu menyisakan tepian yang tenang.’

Keyakinan itu menjadi cahaya kecil di tengah gelombang besar yang sempat mengguncang hidupnya dan rekan-rekannya.

Lahirnya Laundry Bertuah

Harapan baru datang ketika PT Kilang Pertamina Internasional (PT KPI) Unit Dumai membuka program CSR pelatihan dan pendampingan ekonomi.

Risman bersama sembilan rekannya diajak menjemput peluang baru. Sesuatu yang sama sekali berbeda dari kehidupan di laut.

Awalnya, kelompok nelayan Ngokang yang menamakan diri Barter Jaya itu berencana untuk beternak lele. Namun, setelah melalui berbagai pertimbangan, lahirlah ide yang lebih segar yaitu mendirikan usaha binatu ramah lingkungan.

Dari gagasan itu berdirilah Green Laundry, yang kini berkembang dan dikenal masyarakat dengan nama Bertuah Laundry.

“Awalnya orang pada heran, kok bapak-bapak buka laundry? Biasanya kan ibu-ibu yang urus beginian,” ujar Risman sambil tertawa, memperlihatkan para rekannya yang tengah melipat pakaian bersih.

“Tapi ternyata kami bisa juga. Malah sekarang jadi sumber kebanggaan,” tambahnya riang.

Di tempat usaha baru kelompoknya itu, semua proses dilakukan secara gotong royong. Mulai dari mencuci, menjemur, melipat hingga menyetrika dilakukan bergantian dengan sistem shift.

Menariknya, sentuhan Pertamina Dumai tak hanya berhenti pada pendampingan usaha, tetapi juga mendorong aspek kelestarian lingkungan.

Sabun cuci yang digunakan berasal dari bahan alami rumput teki, hasil racikan kelompok tersebut berdasarkan pelatihan yang difasilitasi oleh Pertamina Dumai.

Dari Ratusan Ribu ke Jutaan

Namun perjalanan mereka tak selalu mudah. Pada awal berdiri pada bulan Oktober 2023, penghasilan kelompok hanya sekitar Rp 2 juta per bulan. Setelah dibagi rata, setiap anggota hanya membawa pulang sekitar Rp 200 ribu.

Tak jarang semangat para anggota menurun, bahkan sempat muncul keinginan untuk menyerah. Meskipun begitu, mereka saling menguatkan dan akhirnya bisa bangkit.

“Hal ini juga berkat dukungan tim Pertamina Dumai. Kami sangat bersyukur. Alhamdulillah, sekarang omzet sudah naik,” ujar Risman.

Berkat pendampingan berkelanjutan tersebut, kelompok Barter Jaya kini mampu meraup omzet Rp 8–9 juta per bulan. Sebuah lompatan besar dari kehidupan penuh ketidakpastian di tengah laut.

Keberhasilan Green Laundry tak hanya menghasilkan uang, tetapi juga mengubah cara pandang masyarakat bahwa nelayan pun bisa berinovasi, beradaptasi, dan berdikari.

“Program ini membuktikan bahwa nelayan bisa menemukan jalan baru. Kami tidak sekadar memberi bantuan, tapi menghadirkan solusi berkelanjutan,” ungkap Agustiawan, Area Manager Communication, Relations & CSR PT KPI Unit Dumai.

“Dengan semangat dan kemauan yang kuat, usaha berkelanjutan bisa lahir dari kelompok manapun,” tambahnya.

Kini, Green Laundry bukan sekadar tempat mencuci pakaian. Ia telah menjadi simbol perubahan tentang keberanian beradaptasi, menjaga lingkungan, dan memperjuangkan hidup dengan cara yang baru.

Kisah Risman dan kawan-kawannya menjadi bukti bahwa program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) Pertamina bukan sekadar formalitas, melainkan langkah nyata menuju kemandirian ekonomi masyarakat sekaligus mendukung Sustainable Development Goals (SDGs). (Red)