SEKILASRIAU.COM – Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya tolak gugatan pernikahan beda agama yang beberapa waktu yang lalu digugat.
Gugatan tersebut awalnya dilayangkan oleh warga yang berasal dari Papua, E. Ramos Petege.
E. Ramos Petege menggugat UU Perkawinan yang mewajibkan pernikahan dilakukan oleh umat yang memeluk agama yang sama.
Gugatan itu terdaftar dengan nomor perkara 71/PUU-XX/2022.
Dia mengajukan uji materi UU Perkawinan setelah gagal menikahi perempuan beragama Islam.
Pernikahan Ramos dengan kekasihnya terhalang lantaran Pasal 2 Ayat (1) UU. Perkawinan menyebutkan bahwa “perkawinan dikatakan sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Menurut Ramos, ketentuan tersebut membuatnya kehilangan kemerdekaannya dalam memeluk agama dan kepercayaan.
Hail itu dijamin oleh Pasal 29 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Karena ia mesti berpindah agama bila mau menikahi kekasihnya yang berbeda agama.
MK Tolak Gugatan Pernikahan Beda Agama
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak keseluruhan gugatan uji materi atau judicial review (JR) Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terkait pernikahan beda agama.
“Dengan demikian permohonan pemohon tak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan, Selasa (31/1).
Merespons gugatan itu, MK memandang pokok permohonan tersebut tidak beralasan menurut hukum.
Hakim MK, Wahiduddin Adams mengatakan, ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan bukan berarti menghambat atau menghalangi kebebasan setiap orang untuk memilih agama dan kepercayaannya.
“Kaidah pengaturan dalam norma Pasal 2 Ayat (1) adalah perihal perkawinan yang sah menurut agama dan kepercayaan, bukan mengenai hak untuk memilih agama dan kepercayaan,” ujarnya.
Wahiduddin menegaskan, pilihan untuk memeluk agama dan kepercayaan tetap menjadi hak masing-masing orang untuk memilih, menganut, dan meyakininya, sebagaimana dijamin Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945.
Selain itu, MK juga menilai bahwa tidak ada perubahan keadaan dan kondisi atau perkembangan baru terkait persoalan konstitusionalitas keabsahan dan pencatatan perkawinan.
Atas dasar itu, MK berpandangan tidak ada urgensi bagi MK untuk bergeser dari pendirian pada putusan-putusan sebelumnya.
“Mahkamah tetap pada pendiriannya terhadap konstitusionalitas perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut agama dan kepercayaannya,” kata Wahiduddin.
Dari sembilan hakim MK, ada dua hakim yang memberikan alasan berbeda atau concurring opinion, yakni Suhartoyo dan Daniel Yusmic Foekh.
Editor: Do